Mediapintra.net-Jakarta – Penetapan sanksi administratif terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang kembali menjadi sorotan publik. Menurut Mochamad Moro Asih, S.H., M.H., C.I.H., C.I.L., C.L.A Ahli Hukum Pidana dan Dosen Hukum Pidana, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan penuh untuk menegakkan aturan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, termasuk penerapan sanksi administratif sebelum melangkah ke proses pidana.
“Banyak pelanggaran tata ruang yang sebenarnya bisa diselesaikan pada tahap administratif, seperti peringatan tertulis, pencabutan KPPR, penghentian kegiatan, hingga pembongkaran bangunan yang tidak sesuai rencana tata ruang seperti melanggar sempadan sungai, pantai, maupun danau,” ujar Bung Moro dalam diskusi publik di Jakarta, Sabtu (09/8).
Ia mencontohkan kasus di salah satu kabupaten pesisir di Jawa Tengah, di mana sebuah kompleks vila dibangun hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai. Padahal, aturan mensyaratkan jarak minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi air laut. Setelah melalui proses verifikasi, pemerintah daerah menerapkan sanksi administratif berupa penghentian operasional dan perintah pembongkaran sebagian bangunan.
“Kasus seperti ini sering terjadi. Penegakan sanksi administratif bukan hanya soal memberi efek jera, tetapi juga mencegah kerugian lingkungan dan sosial. Ketika pelanggaran dibiarkan, akan muncul dampak serius seperti abrasi, banjir rob, hingga hilangnya hak akses publik ke kawasan pesisir,” tambahnya.
Kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Badung, Bali, tepatnya di kawasan sempadan Sungai Ayung. Sebuah resort mewah memperluas fasilitas hingga memasuki area sempadan sungai yang dilindungi. Setelah audit tata ruang, pemerintah setempat menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin bangunan tambahan, perintah pemulihan vegetasi tepi sungai, dan denda administratif.
“Dari dua kasus ini kita belajar, pelanggaran tata ruang bukan sekadar urusan estetika atau izin bangunan, tapi bisa berdampak pada ekosistem, risiko bencana, dan hilangnya hak masyarakat,” tegas Bung Moro.
Bung Moro menegaskan bahwa aspek pidana tetap dapat ditempuh jika pelanggar mengabaikan keputusan administratif yang telah berkekuatan hukum. “Undang-undang sudah jelas, jika pelaku tetap membandel, maka pidana bisa dijalankan. Namun, mekanisme administratif adalah pintu awal yang wajib ditempuh,” tegasnya.
Para ahli berharap, penegakan hukum tata ruang dapat dilakukan konsisten dan berkeadilan, sehingga pemanfaatan ruang tidak hanya memihak kepentingan ekonomi, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.
(Red)
Narasumber :Mochamad Moro Asih, S.H., M.H., C.I.H., C.I.L., C.L.A