Mediapintara.net-Jakarta —Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang pleno terbuka di Gedung MK Jakarta pada akhir September 2025 dan telah menimbulkan respons luas dari kalangan akademisi, praktisi hukum, serta lembaga negara.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) yang mewajibkan seluruh pekerja dan pekerja mandiri menjadi peserta Tapera bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut mengaburkan makna tabungan sebagai hak sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa.
Hakim Konstitusi dalam pertimbangannya menegaskan bahwa kebijakan negara yang bersinggungan dengan hak ekonomi warga negara harus memperhatikan asas keadilan, proporsionalitas, serta tidak menimbulkan beban ganda bagi pekerja. MK menilai, kewajiban Tapera yang berlaku seragam tanpa melihat kondisi sosial ekonomi individu berpotensi melanggar hak atas penghasilan yang dilindungi Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
Putusan ini sekaligus memberi perintah kepada pemerintah dan DPR untuk menata ulang regulasi Tapera dalam waktu dua tahun sejak putusan dibacakan. Hingga masa penataan ulang selesai, kewajiban kepesertaan Tapera tidak dapat diberlakukan secara paksa kepada pekerja.
Menanggapi putusan tersebut, Ahli Hukum Tata Negara Mochamad Moro Asih, S.H., M.H., C.I.H., C.I.L., C.L.A., menyatakan bahwa langkah Mahkamah merupakan bentuk koreksi konstitusional terhadap kebijakan publik yang belum berpihak sepenuhnya pada asas keadilan sosial dan perlindungan hak warga negara.
“Putusan MK ini menjadi penegasan bahwa prinsip keadilan sosial tidak boleh digeser oleh logika administratif. Negara tidak dapat memaksa rakyat menabung untuk kebijakan tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kondisi ekonomi mereka,” ujar Moro Asih saat dihubungi di Jakarta, Jumat (4/10).
Ia menjelaskan, Tapera pada dasarnya merupakan kebijakan yang memiliki tujuan baik, yaitu menyediakan akses pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, pelaksanaannya harus memperhatikan pembedaan antara kelompok masyarakat yang mampu secara finansial dan yang masih membutuhkan dukungan negara.
Menurut Bung Moro, konsep tabungan yang diatur dalam UU Tapera telah kehilangan esensinya karena bersifat wajib dan memiliki sanksi administratif. Hal tersebut mengubah sifat tabungan menjadi bentuk pungutan negara, sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran prinsip keadilan dan kesetaraan hukum.
“Negara seharusnya bertindak sebagai fasilitator, bukan pemungut. Fungsi pemerintah adalah memberikan kemudahan akses dan perlindungan, bukan menjadikan pekerja sebagai objek kebijakan tanpa ruang partisipasi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Bung Moro menilai bahwa pemerintah perlu meninjau kembali struktur kelembagaan Badan Pengelola Tapera (BP Tapera), khususnya dalam hal pengelolaan dana masyarakat. Menurutnya, revisi UU Tapera harus menegaskan mekanisme akuntabilitas dan transparansi agar dana masyarakat tidak hanya aman secara hukum, tetapi juga efektif dalam mendukung pembangunan perumahan rakyat.
“Revisi undang-undang harus mengatur secara jelas batasan peserta, mekanisme pengelolaan dana, serta penyalurannya. Jangan sampai dana Tapera menjadi beban fiskal baru atau tumpang tindih dengan program jaminan sosial lain seperti BPJS Ketenagakerjaan,” tambahnya.
Mahkamah Konstitusi juga menyoroti pentingnya menjaga konsistensi antara program Tapera dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, seluruh kebijakan turunan, termasuk peraturan pemerintah dan keputusan menteri, harus disesuaikan dengan arah putusan MK agar tidak menimbulkan kekacauan hukum di lapangan.
Dengan adanya putusan ini, kewajiban iuran Tapera untuk sementara tidak dapat diberlakukan secara memaksa, dan pelaksanaannya harus bersifat sukarela hingga revisi undang-undang disahkan. Pemerintah bersama DPR diharapkan segera melakukan pembahasan komprehensif untuk membentuk kerangka hukum baru yang sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
“Putusan ini merupakan momentum bagi pembuat kebijakan untuk menata ulang cara pandang terhadap kebijakan publik. Negara wajib memastikan bahwa setiap kebijakan ekonomi tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menekan rakyat,” tutup Moro Asih.
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi terkait Tapera tidak hanya menjadi koreksi hukum, tetapi juga pengingat bahwa setiap kebijakan negara harus berpijak pada asas konstitusional dan kemanusiaan yang adil serta beradab.
(Red).