Mediapintara.net-Jakarta-Keputusan yang membatalkan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait kerahasiaan dokumen ijazah calon presiden dan wakil presiden kembali memantik diskursus publik mengenai keterbukaan informasi. Putusan tersebut dipandang sebagai koreksi penting terhadap praktik penyelenggaraan pemilu yang dinilai menutup ruang kontrol rakyat terhadap integritas kandidat.
Menurut Ahli hukum pidana, Mochamad Moro Asih, sikap KPU yang semula merahasiakan dokumen ijazah capres-cawapres berpotensi menimbulkan kecurigaan publik. Padahal, legitimasi demokrasi hanya dapat terbangun di atas prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
“Dalam konteks hukum pidana, dokumen pendidikan adalah alat autentik yang tidak bisa dikesampingkan. Apabila terjadi pemalsuan, konsekuensinya bukan hanya administratif, tetapi juga dapat masuk ke ranah pidana karena menyangkut Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Menutup akses publik atas dokumen itu sama dengan menghambat potensi pengawasan hukum,” tegas Bung Moro.
Ia menambahkan, perlindungan terhadap data pribadi tidak bisa dijadikan alasan absolut untuk menutupi ijazah. “Kepentingan publik dalam memastikan keaslian ijazah jauh lebih besar, karena menyangkut syarat fundamental calon pemimpin negara. Apalagi jika ada keraguan, maka dokumen tersebut wajib diuji secara terbuka,” katanya.
“Pemilu harus dijauhkan dari praktik manipulatif. Jika penyelenggara pemilu terkesan menutup-nutupi dokumen, itu justru menimbulkan distrust masyarakat. Transparansi adalah kunci untuk menjamin keadilan dan menghindarkan potensi tindak pidana yang bisa mencederai demokrasi,” pungkasnya.
(Red).
