Mediapintara.net-Jakarta-Penerapan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) kini menjadi sorotan tajam di tengah meningkatnya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan informasi pribadi masyarakat. Meski pasal-pasal dalam undang-undang tersebut telah secara tegas melarang pengungkapan data pribadi tanpa hak, penafsiran terhadap norma hukumnya masih menimbulkan celah dan multitafsir di tingkat penegakan.
Ahli Hukum Pidana Mochamad Moro Asih, S.H., M.H., C.IH., C.IL., C.LA. menegaskan bahwa penafsiran hukum yang ketat dan tegas terhadap pasal-pasal larangan pengungkapan data pribadi merupakan keharusan mutlak. Menurutnya, jika tafsir dibiarkan longgar, maka esensi perlindungan terhadap hak privasi warga negara akan tereduksi menjadi formalitas hukum semata.
“Larangan mengungkapkan data pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 67 UU PDP harus ditafsirkan secara limitatif dan tidak boleh dimaknai elastis. Sebab, begitu tafsirnya melebar, maka hukum kehilangan daya gigitnya dan membuka peluang pelanggaran atas nama kepentingan publik atau komersial,” tegas Bung Moro dalam pernyataannya di Jakarta.
Lebih lanjut, Bung Moro menilai bahwa UU PDP sejatinya bukan hanya instrumen administratif, tetapi juga bagian dari sistem hukum pidana modern yang melindungi integritas digital warga negara. Karena itu, setiap tindakan pengungkapan data pribadi tanpa dasar hukum yang sah harus dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi digital.
“Penegakan hukum yang efektif harus didukung oleh kesatuan tafsir di antara aparat penegak hukum, regulator, dan pelaku industri digital. Tanpa keseragaman makna, maka UU PDP hanya akan menjadi payung tanpa kekuatan perlindungan,” ujarnya.
Ia juga menyerukan agar pemerintah membangun mekanisme interpretasi terpadu yang melibatkan unsur akademisi, praktisi hukum, dan lembaga pengawas data, sehingga pelaksanaan UU PDP tidak berhenti di atas kertas, tetapi menjadi alat nyata penegakan keadilan digital di Indonesia.
