Mediapintara.net-Jakarta, 29 Agustus 2025 – Aksi demonstrasi pada 27–28 Agustus 2025 di sekitar kompleks DPR berujung pada insiden tragis. Seorang pengemudi ojek daring dilaporkan meninggal dunia setelah tertabrak kendaraan taktis milik Brimob yang tengah melakukan pengendalian massa. Peristiwa ini memicu keprihatinan publik, ditambah kontroversi atas pernyataan salah seorang anggota DPR yang dinilai menghina masyarakat saat memberikan tanggapan terhadap aksi demonstrasi tersebut.
Menanggapi hal itu, Dr. Mochamad Moro Asih, S.H., M.H., CIH., CIL., CLA, ahli hukum pidana, menegaskan bahwa kasus ini harus dipandang dari dua sisi hukum pidana yang berbeda.
Pertama, insiden tertabraknya pengemudi ojol merupakan peristiwa yang berpotensi memenuhi unsur tindak pidana, baik dalam bentuk kelalaian yang menyebabkan kematian maupun pelanggaran prosedur penggunaan kekuatan oleh aparat. “Dalam perspektif hukum pidana, setiap perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain, baik disengaja maupun karena kelalaian, wajib diuji melalui proses peradilan. Aparat pun tidak kebal hukum. Prinsip _equality before the law_menuntut adanya penyelidikan objektif dan transparan,” jelas Dr. Moro
Kedua, pernyataan anggota DPR yang dinilai merendahkan martabat masyarakat dapat menimbulkan konsekuensi hukum sekaligus etik. Menurut beliau, meski anggota dewan memiliki hak imunitas dalam menjalankan fungsi legislatif, ucapan yang bersifat menghina publik tetap bisa ditinjau dari aspek pidana pencemaran nama baik atau ujaran kebencian, serta wajib diuji di ranah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). “Hak imunitas bukanlah lisensi untuk melecehkan rakyat yang diwakilinya. Hukum pidana dan kode etik lembaga legislatif sama-sama dapat dijadikan instrumen pengendali,” tegasnya.
Solusi Pandangan Hukum
Sebagai solusi, Dr. Moro memberikan pandangan komprehensif:
1.Proses hukum terhadap aparat Brimob dilakukan secara transparan melalui penyidikan independen. Jika terbukti lalai, harus diproses sesuai KUHP, disertai pemberian kompensasi dan restitusi kepada keluarga korban.
2.Evaluasi etik anggota DPR oleh MKD dengan mekanisme terbuka, termasuk kewajiban permintaan maaf publik, serta opsi sanksi politik berupa pencopotan dari jabatan strategis.
3.Perbaikan tata kelola pengamanan demonstrasi agar penggunaan kekuatan oleh aparat sesuai prinsip proporsionalitas, humanisme, dan penghormatan hak konstitusional warga.
4.Dialog dan rekonsiliasi antara pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil guna mencegah polarisasi, serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
“Kasus ini harus dijadikan momentum memperkuat penegakan hukum yang berkeadilan sekaligus menjaga marwah demokrasi. Negara tidak boleh berpihak pada pelaku pelanggaran, tetapi wajib hadir melindungi hak-hak masyarakat,” pungkas Dr. Mochamad Moro Asih., SH., MH., CIH., CIL., CLA.
(Red).