Mediaintara.net-Jakarta-Polemik terkait besaran dana reses yang mencapai Rp702 juta bagi setiap anggota DPR kembali menjadi sorotan publik. Di tengah tekanan ekonomi dan tuntutan efisiensi anggaran negara, wacana tersebut memunculkan perdebatan mengenai batas kewajaran penggunaan dana publik untuk kegiatan representasi politik.
Menurut pandangan Ahli Hukum Tata Negara, Mochamad Moro Asih, S.H., M.H., C.IH., C.IL., C.LA, persoalan ini harus ditempatkan dalam bingkai konstitusional dan prinsip akuntabilitas lembaga perwakilan. Ia menilai, reses merupakan bagian dari fungsi representasi anggota DPR yang dijamin oleh undang-undang, namun pelaksanaannya wajib disertai tanggung jawab moral terhadap rakyat yang diwakili.
“Dana reses bukan sekadar hak administratif anggota dewan, melainkan amanah konstitusional yang mesti dikelola secara transparan dan berorientasi pada kepentingan masyarakat di daerah pemilihan. Jika pelaksanaannya bergeser menjadi seremonial atau bersifat pribadi, maka secara etik dan tata kelola publik hal itu dapat dikategorikan sebagai penyimpangan mandat,” ujarnya.
Bung Moro menegaskan bahwa penggunaan dana publik dalam aktivitas representasi politik harus tunduk pada prinsip “good governance”, di mana setiap rupiah anggaran negara wajib memiliki nilai manfaat yang terukur. Menurutnya, DPR semestinya menjadi contoh disiplin fiskal, bukan justru menambah potensi ketimpangan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Ia juga menambahkan, dalam konteks hukum tata negara, setiap pembiayaan yang bersumber dari APBN harus memiliki landasan hukum yang jelas, mekanisme pertanggungjawaban yang ketat, serta pengawasan publik yang efektif. Artinya, transparansi penggunaan dana reses bukan hanya tanggung jawab internal parlemen, melainkan juga bagian dari kontrol sosial warga negara.
“Keseimbangan antara hak konstitusional dan kesadaran etika publik adalah ukuran moralitas politik modern. Parlemen yang kuat bukan karena besar anggarannya, tetapi karena besar komitmennya terhadap akuntabilitas,” tutupnya dengan tegas.
Di tengah dinamika politik dan tuntutan efisiensi fiskal, pandangan tersebut menegaskan bahwa kualitas demokrasi tidak hanya diukur dari mekanisme formal kelembagaan, tetapi dari integritas moral para pengemban mandat rakyat dalam mengelola keuangan negara.
(Red).
